Malam yang panjang. Saya tidak tidak bisa tidur. Ini bukan karena kopi encer tadi sore. Pikiran saya sedang ruwet dan salah satunya adalah kekesalan saya terhadap tikus-tikus yang bebas keliaran di rumah.
Tolong jangan membayangkan bahwa saya memelihara tikus. Meski beberapa kali saya mendapati suara ‘klotak-klotek’ yang disusul suara “Ciit…ciit…ciit” di loteng atau di dapur, saya sempat berpikir, ‘Ahhh…ternyata si tikus’ dan itu membuat saya lega. Ha! Kelegaan saya bahwa itu suara tikus kadang membuat saya sendiri heran. *sigh*.
Kenapa sih rumah saya terkesan bebas. Hmm.. jadi rumah saya memiliki area untuk jemur pakaian dan setrika di atas rumah dengan akses terbuka. Artinya, tanpa pintu dan tanpa penutup dari balkon atas sehingga, siapapun, apapun, dari air hujan, kucing garong, tikus sampai maling bisa masuk ke rumah sebenarnya. Hmm.. kalau dipikir kok bahaya yaa?!
Kembali ke kekesalan saya dengan tikus-tikus keparat itu. Pernah berurusan dengan tikus? Sudah pasti reaksi pertama begitu tahu ada tikus di rumah adalah naik ke atas kursi, eer,..bagaimana menangkapnya? Dulu alm bapak selalu menggunakan lem tikus. Ini adalah kemajuan karena jauuuhh sebelumnya, bapak malah masih menggunakan alat perangkat yang berbentuk kotak dari besi, dengan penjepit dan umpan yang dipasang (umpan bisa berupa daging, ikan, apa aja. Ya, tidak harus keju seperti di kartun-kartun).
Bagaimana cara menaruh perangkap dengan lem tikus? Saya dan ibu saya hanya menaruhnya di jalur-jalur dimana para tikus-tikus itu biasa jalan-jalan. Hmm.. ngeselin memang. Bahkan tikus saja bisa jalan-jalan. -___- ‘ Kami pernah menangkap 2 di 1 papan lem, atau tidak sama sekali. Kalau tidak ada sama sekali, saya berpikir, apa tikus ini pintar? Apa mereka memiliki kapasitas belajar dari pengalaman kah?
Tetapi menurut pengamatan sepihak saya yang tidak terlalu scientific, hipotesa itu benar. Ibu bercerita bahwa ia melihat sendiri, tikus itu lari memutari papan lem bukannya melewatinya. Saya mendengarnya ‘wtf’?! Saya coba lagi. Saya taruh papan lem di bawah kulkas. Karena beberapa minggu lalu, perangkap saya berhasil disana. Namun kali ini saya tidak berhasil. Benar juga kata ibu, tikus itu belajar dari pengalaman. Geez… Tapi saya tidak mau kalah. Setelah di bawah kulkas tidak berhasil, saya pindahkan perangkat di bawah rak sepatu. Voila! That a damn right decision. Tidak lama kemudian, jebakan saya di bawah rak sudah memiliki 1 pengguni dengan suara ‘ciit..ciiit…ciit’ yang melirih.
Saya dan ibu ‘high-five’ kemenangan. Kami mengamati tikus yang menggeliat mencoba untuk keluar dari papan lem. Senyum sinis keluar dari sudut mulut saya. Lalu ibu memutuskan untuk membiarkan dulu. Beberapa hari, si tikus yang terperangkap mendapatkan teman lain pada saat saya menganggap mereka punya intuisi tajam adanya jebakan yang masih dipasang. Ternyata, masih ada saja tikus rookie yang tidak tahu ada jebakan disitu. Voila! two in one. Saya dan ibu tertawa puas karena kami masih menang.
Two mouses have gone, but we don’t know how many that still gonna come and ‘play’ to our house. Our battle never ends. Tapi setidaknya, kami mulai memahami habit mereka, dan mengatur strategi baru setiap kali ada yang terperangkap.