Setelah berpikir lama, saya berpikir untuk bercerita pengalaman apes saja di bulan Mei 2021 ini.
Iya, saya sebelumnya ragu untuk bercerita karena cerita ini seperti membuka aib akan kebodohan saya sebagai manusia. Tapi menulis pengalaman apes bisa menjadi refleksi dan bagian dari mengampuni diri sendiri. (.. am still trying to forgive myself )
So, here we go.
Peer Pressure is no kidding
Kejadiannya saat awal-awal saya memulai olahraga sepedaan. Iya, damn that trend! Pandemi membuat semua masyarakat urban mencari olahraga yang fun. Entah kenapa kemudian olahraga sepeda menjadi tren. Meski, harusnya jalan pagi menjadi tren karena murah dan mudah. Bu? when everybody can do it, then it doesn’t feel special anymore. Sure, whatever..
So, saya adalah korban tren. I admitted that. Sebelum menjalani ‘fun bike’ sport ini, saya adalah rookie runner, meski saya gak bisa mengakui saya seorang ‘runner’. Mungkin tepatnya ‘one time only runner’ seperti ‘one hit wonder’ song.
Seperti korban tren lainnya, saya ingin menyempurnakan penampilan saya agar well, saya bisa keep up dengan pesepeda lainnya. Dari apparel sampai alatnya sendiri, yaitu sepeda (meski saya sudah punya sepeda lipat). Tapi melihat orang-orang memiliki sepeda yang lebih mumpuni, seperti gear untuk meringankan kayuhan, kerangka sepeda yang ringan, sampai sepeda custom yang memang dirakit sesuai dengan tinggi Anda. Wow! Saya sangat tergoda. Seperti digoda setan, saya menjadi tergiur.
Berawal dari…
Singkat cerita, sepeda yang saya inginkan ternyata diatas 10 juta. Ha! Tentu saja. Hanya saja, saya gak rela harus menguras kocek sebesar itu.
Saya cari cara. Lalu mulai iseng browsing di Instagram. Ada akun-akun yang (katanya jual sepeda) dengan harga miring, and turned out there are a lot fraud accounts.
Saya DM salah satu, setelah melihat sebuah akun instagram yang mental sepeda-sepeda dengan harga miring. Entah kenapa admin nya seperti nge-push saya untuk segera memesan. (ini adalah salah satu tanda there’s something wrong)
Lalu saya memutuskan ini sepertinya valid. Akhirnya saya transfer dengan harga yang terteda di Instagram. Lalu setelah saya transfer, komunikasi kami menjadi pindah ke WA. Admin nya pintar memainkan emosi saya. Memberi update bahwa sepeda saya sedang di-packing. Tiba2 saya di-WA call sesorang dengan nomor beda.
Bilangnya adalah orang gudang. Saya perlu transfer uang lagi untuk kebutuhan Pajak. Karena harga yang tertera belum paj?k,. Insting saya langsung curiga. Insting saya mulai mempertanyakan. Kok begini. Apakah ini benar? Dia bilang ini cuma deposito, nanti dikembalikan. Saya labor aja ke adminnya. Akhirnya saya transfer.
Saya bilang ke admin di WA yang pertama (nomor nya di akun instagram). Dia mengiyakan bahwa itu memang orang gudangnya dan minta maaf, nanti ditransfer balik ke rekening saya. Lagi-lagi saya kok percaya.
Kejadian selanjutnya adalah bapak-bapak yang menelpon minta transfer bilang dia ingin mengembalikan uang saya. Caranya dengan mentransfer ke nomor akun shopee pay nya. Emosi saya sudah naik. Saya sudah tau saya dipermainkan. Bapak2 itu malah marah2 balik.
Saya jelaskan proses transfer dengan caranya itu namanya saya kasih duit lagi ke dia bukan dia balikin yang saya. Saya berdebat dengannya. Ego saya ingin membuktikan bahwa saya benar dengan cara malah mentransfer dia lagi.
Setelah dia tau saya transfer, dia diam dan menutup telpon. Ketika tutup telpon, saya langsung sadar, bahwa saya ditipu. Saya dipermainkan. I was being hustled. Pelaku sempat telpon saya lagi, dengan bilang dia akan mengembalikan bang saya lagi dengan bilang pakai DOKU. Saya teriak “Anda sudah menipu saya!!!. Saya sudah keluar Rp.XX juta ke Anda untuk barang yang belum tentu datang. Saya tahu doku itu apa. Anda jangan coba2 menipu saya lagi. Saya akan laporkan ini!!” saya bicara dengan menahan emosi agar saya tidak hilang kontrol.
Mom knows best.
Selesai teriak, saya seperti kehilangan energi. Kalau saya berdiri, mungkin saya sudah jatuh terduduk. Saya bisa merasakan kaki saya lemas dan segala energi positif hari itu hilang atau tepatnya terenggut dari saya.
Saya lapor ke ibu saya. Beliau terkaget-kaget. Reaksi pertama adalah found someone to blame.
“How’s that happened?” — “How could I?” — “Why I did that?” — “Why I am so reckless?!” — “What’s next?” — Itu semua pertanyaan pertama yang dikeluarkan ibu saya.
Saya tidak menyalahkan ibu saya menanyakan itu semua. Semua jawaban pertanyaan itu adalah finding someone / something to blame. And all that answers pointed to ME.MOI.AKU. I knew I made mistakes. I knew when I am making this mistake.
Ketika saya cerita bahwa saya kena tipu dengan muka pucat dan menahan tangis, all that come up from my mom is Why are you so reckless or not being careful? How did it happened and so on — Tapi mungkin itu kebiasaan yang dilakukan orang-orang dulu. Orangtua dari ibu saya, juga orangtua dari kakek-nenek saya.
Saya mengerti tapi bukan berarti saya bisa menahannya. Setelah saya bilang apa yang saya rasakan walaupun tidak ditanya, Ibu baru memberikan kata-kata menenangkan dan pelipur rasa sedih.
Self – forgiven..
‘Shit happens’ kalau kata orang. Tapi ternyata mengucapakan ‘Shit happens’ bukan berarti langsung bisa melupakan. Kejadian ini sudah beberapa bulan lalu. Hanya 2 orang yang tau diluar dari ibu saya. Saya bahkan belum bisa cerita ke best friends saya.
Jika ditanya, saya jawab “Saya takut.. saya takut bestfriends saya akan memborbadir semua pertanyaan seperti ibu saya. Saya takut akan penilaian mereka terhadar diri saya. Honestly, until now, I still can’t let it go. I haven’t full forgive myself. And I don’t know if I can answer all those questions.
I felt shame of myself. I let myself being hustled and can’t do anything. Well, saya sudah melaporkan penipuan ini ke cyber crime website milik polisi. Hanya saja saya tidak tau dan ragu laporan saya akan ditindaklanjuti. Seorang warga yang tertipu xx juta rupiah. Orang yang ambil duit negara xx milyar rupiah saja tidak ditindaklanjuti. (Oke, that’s another issued to talk about far-far another time)
Yang ingin saya sampaikan adalah ‘memaafkan diri sendiri is a tiring process, it’s a bitch!”.
“How are you feeling..?”
Melihat kebelakang, ada 1 hal yang bikin saya sedih. Orang terdekat saya yaitu ibu saya lupa menanyakan keadaan saya ketika saya cerita saya kena tipu.
Walaupun saya memahami kenapa ibu saya berlaku seperti itu. Saya melihat ini tidak hanya dilakukan ibu saya dan generasinya, bahkan teman-teman juga kadang-kadang saya sendiri tanpa sengaja (secara réflex).
I learnt hard that pertanyaan ‘Apa yang kamu rasakan sekarang? Atau ‘Hey, are you okay?” itu sederhana tapi sering dilupakan. Ketika saya sadar saya kena tipu, dan saya bercerita ke Ibu saya, yang saya inginkan bukan bagaimana bisa saya kena tipu. Bukan ingin ditanya siapa yang menipu saya. Saya ingin merasa bahwa saya tidak sendirian menghadapi berbagai emosi yang saya rasakan. Saya ingin merasa bahwa saya punya seseorang ketika saya menengok ke belakang (metaforically).
Sampai saat ini, saya masih sesak dan dongkol kalau mengingat kejadian itu. Sesuatu yang bisa saya kontrol dan insting sudah memperingati, tapi saya hiraukan karena ego saya. Saya masih belum bisa accept ‘Shit happens’.
Kejadian ini bikin saya belajar (tentu saja!) untuk lebih háti-háti dan tidak jadi korban tren. Meanwhile juga belajar bagaimana membaca situasi dan memberikan support yang dibutuhkan. Sebuah kalimat “are you okay?” mewakili rasa peduli/support lebih besar dibanding “How did it happen? or Who did it?”