Sebuah pembicaraan pendek namun menjadi sesuatu yang jadi renungan untuk saya di dalam hati.
Saat saya travelling ke Paris belum lama ini, saya sempat menginap di rumah teman saya yang memang orang Perancis dan he is true Parisian (Born, raised and live in Paris). Saya mengemukakan keterkejutan saya akan kondisi betapa masyarakat Paris sangat mix races and culture.
Dan teman saya dan istrinya hanya tertawa karena statement saya. Tetapi mereka mengatakan mereka semua orang Perancis, karena mereka sudah lahir dan besar di Perancis. Lalu pembicaraan kami mengalir dan sampai pada topik agama. Meski suami istri, teman saya – François ini seorang atheist dan istrinya – Maylis ini beragama Kristen dan anak-anak mereka semua dibaptis. Maylis bercerita, Perancis sangat menghargai kebebasan dan privasi seseorang dalam memilih agama atau tidak menganut agama.
Bahkan dalam urusan administratif yang menyangkut institusi, juga rumah sakit, asuransi atau apapun, kolom agama itu tidak dicantumkan. Pun untuk urusan yang berkaitan tentang data warga atau sifatnya official dari pemerintah, mereka punya pilihan untuk mencantumkan atau pun bisa menolak mencantumkan agama mereka.
Saya bertanya kepada Maylis, apakah negara tidak membutuhkan data, berapa orang penganut agama A, B, C dsb? Lalu dia bertanya, relevansinya data itu untuk apa? Pajak? Pajak dikenakan ke semua orang. Sensus jumlah penduduk? Pendidikan? Sekolah – sekolah negeri di Perancis dari level elementary sampai universitas itu gratis.
Lagi, saya menjawab ‘Memang tidak dicantumkan buat ID Card?’ — Tatapan Maylis hanya mengernyitkan alis. Dia malah balas bertanya “Memangnya ID card kamu ada tertulis agama disana?” — Saya mengangguk sambil jawab “Oui..oui”.
“Kegunaannya buat apa?” tanyanya kembali. Saya bersiap menjawab namun kemudian saya tertegun. Saya berpikir kembali dan mengingat. Rata-rata validasi data yang dipakai dan dilihat adalah nomor KTP, nama dan alamat sesuai KTP. Informasi agama menjadi bagian yang tidak memberikan relevansi terhadap kebutuhan validasi data. Dalam keterdiaman saya, saya jadi bertanya-tanya sendiri. “Buat apa ya?”
Jika pun kebutuhan data base, setiap kelurahan punya KK yang berisikan nama, agama dan status setiap orang di suatu kelurahan. Jadi, faedahnya ada tertulis agama di KTP itu buat apa?
Privacy & Personal
Pembicaraan kami berlanjut. Maylis tertarik untuk bertanya lebih lanjut. Dia bertanya “Apakah menuliskan agama di KTP kamu menjadi sebuah ‘keharusan’?” Saya kembali diam. Saya menjawab saya belum pernah melihat yang isinya kosong atau tertulis tidak beragama atau atheis. Maylis kembali bertanya “Bagaimana kalau dia memang tidak memilih agama satu pun? Apakah dia harus tetap mencantumkan sebuah agama di sana?” Pertanyaan Maylis jadi pertanyaan saya juga. Iya juga. Bagaimana buat mereka yang tidak mengimani salah satu agama? Terlebih bagi mereka yang ateis? Apakah mereka punya pilihan untuk bisa tidak menuliskan? Saya tidak pernah bertanya soal ini kepada pihak kelurahan atau pun orang yang bisa menjawab ini.
Maylis kemudian bercerita, di Perancis, kolom agama dalam formulir isian apapun tidak ada. Kalau pun ada, kamu punya pilihan untuk tidak mengisinya and it is okay. Bahkan jika kamu pun misalnya kamu memang beragama dan kamu memilih tidak menuliskan agama mu (karena kamu tidak ingin dimintai sumbangan atau apapun) juga adalah hak kamu. So, matter of faith is very personal and privacy. Tentang menjalankan ibadah pun, itu sangat individual dan personal.
Namun, sehubungan dengan teroris dan kewaspadaan, Maylis bercerita pemerintah Perancis terutama di kota Paris mengeluarkan semacam larangan untuk mengenakan cadar. Pikiran saya saat itu terbang ke Indonesia, dimana orang mengenakan cadar sudah sering saya lihat. Seandainya… ah sudahlah, pikiran saya kembali ke Maylis dan topik kami.
Pembicaraan kami terhenti karena anak-anak yang menuntut perhatian mamanya. Namun pembicaraan kami, saya ingat baik-baik Saya kembali berandai-andai. Apakah masyarakat Indonesia bisa seperti itu? atau setidaknya Pemerintah Indonesia mengubah format KTP sehingga agama bukan bagian dari identitas kependudukan. Apakah kita bisa benar-benar menjalankan kebebasan beragama dan memeluk sebuah kepercayaan atau tidak memeluk sebuah agama atau kepercayaan, dan menghormati pilihan orang lain?
Mengingat betapa kisruhnya pemilihan Gubernur DKI pada tahun lalu, saya sadar, kita – bangsa Indonesia masih sangat labil dan belum sampai pada level kedewasaan untuk mengesampingkan agama dalam penilaian terhadap kinerja seseorang terutama jika konteksnya menyangkut pemerintah dan politik.