Feedback & Critic

Sudah bukan hal yang aneh, jika saat hari besar keagamaan, kemudian ada libur lumayan lama, keluarga besar kemudian berkumpul. Kakek, nenek, bapak, ibu, pakde, bude, tante, om, sepupu-sepupu, keponakan sampai cucu dan cicit (jika memang ada) berkumpul, saling melepas rindu, tukar kabar sampai curhat-curhat yang perlu di-update ke beberapa saudara.

Pertemuan keluarga juga sering menjadi ajang the elders memberikan kritik dan masukan atas kehidupan yang saat ini dijalani oleh generasi muda. Kritik dan masukan akan hidup biasanya dimulai dari pertanyaan yang berhubungan dengan life cycle. Iya, definisi life cycle adalah urutan hidup yang umum dijalankan. Mulai dari sekolah – kuliah – kemana setelah kuliah? – kerja – kerja dimana? berapa lama? – menikah – sudah punya pasangan? Kapan menikah? Kapan nyusul? – memiliki anak – Udah ‘isi’ belum? Si kecil ga mau dikasih adek ? – dan begitu selanjutnya.

Selama beberapa banyak tahun sebelum tahun ini saat pertemuan keluarga, saya menjadi ‘generasi muda’ yang menjadi objek review dari pertanyaan klise di atas. Rasanya, seperti ‘amuba dalam sorotan mikroskop’. Gak bisa berdalih dan gak bisa kemana-mana juga. Jawaban sama setiap tahun tidak hanya membuat orang yang memberi pertanyaan bosan, saya pun bosan jawabnya. Tapi lagi-lagi, the elders merasa berkewajiban untuk tetap memberikan kritik dan masukkan yang menurut mereka terbaik buat saya tentunya dengan kacamata mereka.

Berbicara soal kritik dan masukan, bukan hal yang asing secara profesional buat saya.  Di level saat ini, saya mengerti feedbacks and critics are two different things.  Meski cara penyampaiannya bisa jadi sama, yang membedakan feedbacks dan critics adalah objektivitas yang tetap terjaga saat menyampaikan feedbacks. Kita tidak bisa terlibat secara emosi saat memberikan feedbacks dan tentunya harus disertai solusi sehingga orang yang diberikan feedbacks merasa di-support dan menjadi lebih baik.

Poin kunci yang mungkin harus diingat saat memberikan feedbacks adalah sikap pengertian dan tetap objektif terhadap masalah. Saya sendiri masih terus belajar untuk bisa memberikan feedbacks dan bukan kritik.

On that thought, realization just came to me kenapa kritikus makanan disebut ‘kritikus makanan’ or food critics. It just because all they writes are based on subjectivity. (Yes. Food critics doesn’t have to be chef  and you can’t write about food based on objectiveness).  Oh well… 

Tapi honestly, dulu saya tidak bisa membedakan antara kritik dan masukan. Saya pikir masukan adalah kritik; dengan rumus : critics = feedbacks. Kalau pun ada kritik yang tidak membangun, itu bukan kritik tapi memang ‘nyela’.

Awal saya bekerja, saya menerima semua kritik baik negatif dan positif dengan anggapan semua itu adalah masukan buat saya. Meski dengan cacian atau makian di depan karyawan lainnya, hanya karena itu berasal dari atasan. Well, maybe that’s a positive thing being GenX. We don’t have this ‘baper’ thing like millennials now. Tapi saya belajar, bahwa tidak semua orang bisa menerima tempaan mental seperti itu. Tidak semua orang bisa mengolah ‘lemon in life to become lemonade’.

Terus apa hubungannya dengan pertemuan keluarga besar? Ha!

Jadi beberapa tahun ini,  saya tidak lagi menjadi ‘amuba dalam sorotan mikroskop’, tapi salah satu subjek yang melakukan feedbacks and critics dengan pertanyaan klise di atas. What an irony.

‘Amuba dalam sorotan mikroskop’ baru itu adalah adik sepupu yang belakangan menjadi trending topic saat pertemuan keluarga. Seorang millenial dimana orangtuanya dan juga Pakde, Bude nya tidak mengerti apa yang harus dilakukan terhadapnya. Setiap ada pertemuan, topik pembicaraan selalu kembali kepadanya.

Lucunya, pengetahuan saya akan feedbacks dengan kunci ‘pengertian dan objective terhadap masalah’ sepertinya hilang kalau sudah membahas masalah adik sepupu ini. Feedback? Sepertinya setiap orang bahkan the elders yang biasanya sabar, saat dicurhatin oleh tante dan om alias orangtua si adik sepupu saya ini, tidak lagi melihat pokok masalah secara objektif karena sudah terbawa emosi.  Sehingga output yang keluar adalah kritik-kritik dan kritik. Selain kritik, sarkasme juga ikut serta. Yang mana fakta tersebut membawa saya pada tulisan ini.  When I knew better how people don’t give positive reaction in critics and become shut down to any feedbacks, what I did is criticize her. 

Saya tersadar bahwa meskipun dalam keluarga, sebuah masalah tetap masalah. I should put aside my emotion and be objective about the problem. Kemudian saya coba menerapkan beberapa langkah ini saat bertemu dengan adik sepupu saya ini. (kebetulan saya baca ini artikel ini yang ternyata merinci langkah-langkahnya lebih spesifik)

  1. Intention: What’s the intention of providing the feedback?
  2. Observation: Be very clear and describe what you observed.
  3. The impact: What was the impact on you, the work, the team or the individual.
  4. Discuss: Does the other person understand what you are saying? What is their reaction, their thoughts?
  5. Focus: Pinpoint solutions, obstacles or options available to correct the issue.
  6. Agree: The final piece is to identify clear next steps and when you will follow up.

Saya mencobanya dengan obrolan santai sehingga ia tidak akan merasa di review atau dihakimi sepihak. Memang tidak langsung keluar, tapi akhirnya adik sepupu saya sedikit membuka dirinya. Ia mulai bercerita sedikit dari yang biasanya diam. Saya tidak berharap dia langsung berubah. Yang penting dia mengerti apa yang saya bicarakan dan dia mengemukakan pikirannya terhadap apa yang saya bicarakan. Tidak mudah.. really, i was struggling and i am still working on that, tapi ini jadi latihan saya untuk memahami millenials.  Informasi yang diberikan adik sepupu saya menjadi bahan saya untuk lebih mengerti dan mencoba memberikan solusi-solusi dan tantangan dari pilihan hidup yang akan dihadapinya.

Millenials. Tidak mudah memahami mereka, namun memahami adik sepupu saya ini bisa buat latihan saya untuk bisa memahami  staf millenials kami.

That’s that. 

Next step is the parents. How to make my aunt and uncle understand that they also need to educate their daughter and let her make their own mistakes?