Notice: Function _load_textdomain_just_in_time was called incorrectly. Translation loading for the wp-pagenavi domain was triggered too early. This is usually an indicator for some code in the plugin or theme running too early. Translations should be loaded at the init action or later. Please see Debugging in WordPress for more information. (This message was added in version 6.7.0.) in /home/steh9584/public_html/wp-includes/functions.php on line 6114
Diet sosial media path | Stephanie's Closet

Diet Social Media Path

Saya memutuskan untuk diet media sosial ‘Path’.  Kenapa Path? Kenapa bukan instagram? atau twitter? atau FB?

Dulu saya merasa Path adalah salah satu solitude channel dimana saya bisa sharing ada apa dalam hidup saya dan mengetahui apa yang terjadi dengan teman-teman saya.  Bangun tidur, lihat Path. Mau tidur, cek Path. Sedang nunggu meeting, cek Path. Atau lagi boring di miting pun buka Path.

Namun, belakangan saya merasa, update status di Path jadi beban, baik untuk sharing status atau pun melihat sharing teman-teman.

Path jadi tempat pencitraan di mata saya. Tapi bukankah semua media sosial begitu? Iya sih..  meski ada circle friends, bukan berarti saya berhenti melihatnya sebagai pencitraan. TENANG! Bukan berarti teman-teman semua yang ada dalam friends Path saya seperti itu. Saya percaya bahwa tidak ada satu pun dari teman-teman saya di Path bermaksud pencitraan (meski bisa jadi begitu tanpa sadar :p ) tapi ini lebih ke diri saya yang semakin lama semakin merasa ‘isi gelas saya’ selalu kurang.

Efeknya adalah saya merasa saya tidak bersyukur dengan hidup yang saya alami. Saya tidak menikmati setiap moments yang terjadi depan mata. Sindrom ‘Rumput tetangga selalu lebih hijau’ menjadi selalu muncul ketika melihat timeline feed dari teman-teman.  Saya menjadi sarkas dan sinis. Dan saya benci diri saya yang seperti itu.

Jika kamu teringat dengan pernyataan Sarah Sechan yang berhenti bermain di media sosial, well... saya tidak bisa berkata berhenti dari media sosial. Pekerjaan saya ada di digital dan dunia media sosial sangat erat hubungannya sehingga now and then, saya harus membuka Facebook, Twitter dan Instagram demi kebutuhan pekerjaan semata.

Sehingga Path jadi pilihan media sosial yang harus saya hentikan untuk sementara ini. Lucunya adalah ketika brands mulai masuk ke Path dan menjadikannya channel berinvestasi, saya justru meninggalkannya untuk kewarasan pikiran saya.

Saya tidak mau berpikir harus nongkrong dimana karena akan terlihat bagus ketika ‘check in’, atau liburan kemana yang bakal keren ketika di foto, atau apapun yang dipikir ‘harus’ bagus untuk di post di media sosial.
“Tapi foto muka atau selfie harus bagus dong?” — Itu pengecualian ya. 😉

Saya tidak tahu apakah saya akan kembali aktif di Path. Sejauh ini saya hanya akan uninstall path di smartphone, bukan delete account. Jadi, yeah… saya masih belum berpikir sampai sana. Tunggu dan lihat nanti saja.