“Jadi, elo dijodohin gitu sama emak elo?” Aga berbicara sambil melahap bakpao babi asin di depan gereja setelah mendengar ceritaku. “Yaa…asumsi gue sih begitu. Tapi sampai hari ini, yang namanya Bagas itu pun gak nongol-nongol depan gue,” jawabku sambil melirik sepasang muda mudi yang terlihat bergandeng mesra. “Eh, liat deh, Rachel sekarang sama James yaa..?” tanyaku. Aga yang sedang mengunyah bakpaonya mendengus sambil memutar bola matanya.
“Plis deh Cil, elo kemana aja sih? Mereka kan emang udah lama banget pacarannya. Ih elo tuh amnesia ya? Kan elo juga yang kasih tahu gue!” Aku hanya mencengir lebar sambil menggaruk-garuk kepala. Memang tidak sopan sih jika sehabis perayaan ekaristi, kami justru ‘siaran infotainment’. Tapi pembicaraan siapa dengan siapa sekarang sudah seperti makanan sehari-hari aku dengan Aga yang menjadi pengamat kehidupan muda mudi di gereja kami
“Eh, masa sih? Oia ya..aduh bego amat sih gue. Mulai pikun rupanya,” ujarku sambil mengetuk-ngetuk kepalanya berharap dengan begitu otakku agak sedikit lebih ‘encer’. Sepertinya sudah saatnya aku mengonsumsi ginko giloba, suplemen penguat memori.
“Tapi ngomong-ngomong pacaran, elo sama Andri’kan udah lama ya Ga, so, kapan…” Aga langsung membuat isyarat time out dengan kedua tangannya yang telah bebas dari bakpao.
“Time out! Jangan sampai elo menanyakan pertanyaan sama yang elo selalu keluhkan ke gue ya Cil,” Aga sewot sambil cemberut.
“Hahaha…..upps! Gue lupa! Bener deh Ga. Jangan sampai deh gue jadi seperti Tante Bagio yang rumpi itu,” ujarku sambil cekikikan. Namun pertanyaan ‘kapan kawin’ sangat menggoda untuk tidak ditanyakan kepada pasangan yang dirasa telah menjalin hubungan cukup lama. Perumpamaannya ibarat,kamu lagi makan, pasti ada saja orang yang bertanya:”Makan apa?”
“Ga, gue mau rapat KKMK nih ntar jam 10.00, jangan pulang dulu dong! Temenin gue sampai rapat mulai yaa…”ujarku meminta Aga menunda pulangnya.
“Andri nunggu gue nih di parkiran..bagaimana Cil?”
“Yee….telpon dong, suruh nunggu kek sebentar. Setengah jam doang. Anak-anak yang lain soalnya juga lagi pada pulang dulu,” ujarku memberikan beberapa penjelasan logis. Agatha, sahabatku akhirnya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Andri. Setelah ada sedikit perbincangan sambil ketawa-ketiwi, Aga menutup ponselnya dan kembali duduk bersamaku di tangga depan gereja.
“Bagaimana?” tanyaku. “Iyaa…you win! Lagian Andri sebenarnya mau ke bengkel. Daripada gue bengong trus digodaain sama orang bengkel, mending gue di sini nemenin elo,” ujar Aga lagi sambil tersenyum manis dan memberi tatapan i-am-your-best-friend-and-you-owe-me!.
Aku sangat salut sama sahabatku satu ini. Jujur, aku tidak tahu apa yang membuat dia dan Andri tidak kunjung meresmikan hubungan mereka dalam ikatan suci pernikahan.Mereka telah menjalin hubungan cukup lama dan sepertinya sudah sangat mengenal satu sama lain. Aga sendiri sudah bekerja dan cukup mapan begitu juga dengan Andri. Dengan gajinya sebagai manager, seharusnya mereka sudah bisa mengumpulkan uang untuk biaya menikah. Selain itu, orang tua mereka berdua terlihat sudah cocok dan mau ‘berperan serta’ jika mereka memutuskan untuk menikah. Bagiku mereka adalah perfect couple. Cinta, pengertian, saling menghargai, dan menerima apa adanya antara satu dengan yang lain. Tapi, itupun tidak membuat Aga dan Andri segera menikah.
“Ga,…jangan marah dulu. Sebenarnya apa yang membuat elo tidak kunjung menikah dengan Andri?” tanyaku penasaran. Halaman gereja sudah kosong. Beberapa orang yang biasanya mengumpul dan saling bertegur sapa telah pulang dan melanjutkan aktivitas mereka.
“Emang nikah itu seperti pesan nasi goreng delivery order?” tanya Aga retoris. “Maksud elo?”
“Ya,maksud gue, menikah itu gak gampang tau Cil. Mentang-mentang kita cinta sama pasangan kita, semudah itu kita memutuskan menikah dengannya? Gue cinta sama tinkerbell, anjing gue, tapi bukan berarti gue nikah sama dia’kan?” jawab Aga asal.
“Yee, elo gimana sih? Masa rasa cinta ke Andri disamain ke Tinkerbell? Kasian amat Andri…”
“Hehehe….becanda tau! But, basically menikah itu gak semudah itu deh.”
“Gak mudah bagaimana? Elo kan tinggal mengkangkang aja…beres’kan?!” jawabku juga asal. Alhasil, Aga justru menoyor kepalaku karena jawabanku yang vulgar.
“Elo ngaco banget sih!Menikah neng…bukan kawin,” Aku hanya senyum lebar. Namun, beberapa menit kemudian kami berdua saling terdiam. Kami membaca warta paroki bagian berita perkawinan.
“Kenapa disini ngomongnya berita perkawinan? Bukan berita pernikahan? Hayooo….?” tanyaku menantang. Aga dengan konyolnya juga mengiyakan karena ia sama bingungnya.
“Gak usah dibahas deh! Elo suka nanya aneh-aneh,”Aga kembali mengeluarkan ponsel dan mengirim pesan singkat kepada Andri.
“Eh, eh, kemarin kata nyokap, pengeluaran biaya pernikahan Aline itu sampai 70 juta-an lho!” ujarku sambil membuka topik tentang pernikahan salah satu teman kami yang belum lama menikah. “Ya iyalah…, secara ia ngerayain pesta di gereja juga, di gedung juga. Selain itu, ia kasih seragam dari panitia, koor dan sahabat-sahabat terdekatnya,”kata Aga sambil menopang dagu. Aku dan Aga langsung berkhayal apakah kami akan memiliki pohon uang yang bisa memberikan uang sebanyak itu.
“Itu duit semua tuh?”tanyaku bodoh.
”Bukan, daun! Ya iyalah Cil…masa sih bayar pengeluaran resepsi pakai daun nangka?! Kalau bisa sih, gue udah nikah dari kapan tahu, secara pohon nangka di kebun gue lagi rimbun-rimbunnya.”
“Mahal bener ya biaya pernikahan itu. Gilaa….apa lagi kalo gue pake adat istiadat jawa yang ada siraman, widodareni, jualan cendol, puiiihhh….gila mo kawin aja ribet bener,”ujarku sambil mengingat repotnya pernikahan sepupuku setahun lalu. Aga hanya terdiam. “Kalau gue menikah nanti, pokoknya gak ada tuh acara begituan apalagi resepsi. Pokoknya abis pemberkatan di gereja, ntar semua orang gue kasih nasi kotak aja, biar ngirit,” ujarku lagi.
‘Hahahahaha……mana bisa begitu?! Nih gue kasih tahu, even cuma pemberkataan di gereja, elu tetep kudu musti mengeluarkan uang dan tetep bow! Jutaan,” jawab Aga sambil tetap cengengesan.
“Hah!?Buat apaan aja emangnya?,” “Oke, nih ntar kalau elo lagi bener-bener bengong di rumah, elo coba deh itung-itung kasar. Ini pengeluaran di gereja aja ya karena elu bilang gak mau ada resepsi,” kata Aga sambil mengeluarkan kertas corat-coret. Aga kemudian memulai perinciannya.
“Mulai deh dari sewa gereja. Kalaupun gerejanya gratis, emang elo gak bayar listrik? Belum lagi kalo elo pilih gereja yang ber-AC, tambah mahal’kan?!”
“Oke, gereja, listrik dan soundsystem,” ujarku sambil menulis.
“Lanjut ya, emang elo gak kasih fee buat yang bersih-bersih gereja? Putra altar? Trus koornya bagaimana? Kalau elo gak mau ibu-ibu yang nyanyi, kan musti manggil wedding singer choir yang professional.
“Terus,tuh gereja memang gak dihias bunga?,”tanya Aga retoris. Aku kembali menulis, bunga, fee kebersihan, koster, putra altar, paduan suara.
“Pake koor lingkungan aja biar murah. Mereka kita kasih seragam aja sebagai tanda terima kasih,” aku memberi alternatif.
“Justru lebih mahal tau! Emang elo gak kasih duit buat jahitnya? Terus, tuh ibu-ibu dan bapak-bapak masa gak dikasih makan?,” tanya Aga lagi. Aku menambah lagi item konsumsi di daftarku.
“Jangan lupa tamu memang gak di kasih souvenir? Kan elo gak ada resepsi,” Aga menambahkan item baru di daftarku. “Tuh, cuma segini kok,” ujarku sambil memperkirakan biaya total kira-kira.
Aga merebut list-ku dan menambah beberapa item lagi. “Emang perlu apa lagi sih? Kan udah semua?”
“Nih ya, emang elu mo pake daster dan kunciran doang kalau mo married? Kebaya, make up belum elo masukin, belum lagi seragam buat dua keluarga, terus elo sama calon suami emang mau naek angkot ke gereja-nya? Pasti sewa mobillah, nah coba udah berapa pengeluarannya. Belum lagi dokumentasi, supir dan keamanan,dan….” suara Aga seperti menggaung ditelingaku. Aku menambah semua item-item yang belum kumasukkan ke dalam daftar kasarku.Setelah kulihat, aku hanya menaikan alisku satu dan bersiul nyaring.
“Gilaaa, mahal ya bow! Gue gak pernah mikir sampai sedetail ini,” ujarku sambil garuk-garuk kepala. “Kalau begini repotnya, kayanya saudara kita yang muslim jauh lebih beruntungnya ya Ga. Cuma bayar mesjid, dan penghulu aja jadi deh suami istri,” celetukku. “Hehehe…iya yah.Hmm..mending elo ikutin jejaknya Anna Nicole Smith[1] tuh. Hihihi..elu cuma perlu bawa diri doang, trus tinggal nunggu warisan beres deh!,”balas Aga lebih asal. “Hahahahahahahahaha…..gilaaa!” aku menoyor kepala Aga pelan, tapi kemudian kami tertawa bersama. Pembicaraan kami tentang kawin, nikah, dan hal-hal seperti itu memang menjadi obrolan menarik yang tidak pernah selesai dibahas. Meski diskusi kami tidak pernah tuntas atau mendapatkan solusi, kami tidak peduli. Sebagai fun fearless female yang sudah memasuki umur seperempat abad, kami hanya menjalani apa yang hidup berikan pada kami sebaik-baiknya dan melakukan apa yang kami inginkan.Lainnya, terserah Anda! J (St.)
[1] Artis AS yang menikahi seorang milyuner AS 65 tahun lebih tua darinya. Banyak perdebatan, ia menikah karena mengicar harta saja. Anna Nicole Smith meninggal karena over dosis tahun lalu.