Case of Identity

Seorang sahabat bercerita kepadaku tentang pemikirannya. Dia beranggapan bahwa tidak enak jadi orang yang biasa-biasa aja. Karena you’ll easy to forget, menurutnya. Sahabatku bercerita betapa penampilan sangat penting. As matter of fact, looks for us – girls, very important. Seperti pernyataan2 yang dalam sebuah buku ‘Beauty Case’. It said”Beauty is power” and “The most eligible man gets the most beautiful woman”. Apakah memang seperti itu?

Sahabatku mengeluh bahwa selama 3 tahun ia bekerja, tidak ada satu orang laki-laki (kecuali pacarnya) di kantornya melihat dia sebagai perempuan yang perlu dipujia . Menurutnya, eksistensi dia sebagai perempuan bahkan tidak dianggap oleh kaum laki-laki di kantornya, which is dari bos sampai office boy. Dia mengeluh pada anak baru, seorang resepsionis baru yang sering digodain cowok-cowok di kantornya. Aku mendengarnya agak tergelak sendiri.

Bukankah sebagian besar perempuan paling males kalo harus berurusan dengan rayuan gombal laki-laki? apalagi jika sekedar iseng? well, ternyata sahabatku ini melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Menurut dia, itu berarti adanya pengakuan dari laki-laki bahwa resepsionis itu terbilang cantik (padahal sahabatku sudah 3 tahun lebih dan tidak pernah satu laki-laki menggoda dia). Meski aku sudah menghiburnya bahwa gak ada gunanya menjadi bahan godaan cowok2 atau mengatakan padanya bahwa dengan tidak menggoda dia, berarti dia disegani oleh orang2 di kantornya, tidak juga membuat sahabatku puas. Ia merasa statusnya sebagai perempuan tidak dilihat. Bahkan dengan rekan2 yang selevel dengan dirinya. Lucu yaa….

Tapi aku jadi berpikir dalam sudut pandangnya. Menjadi sosok yang biasa-biasa saja memang mudah dilupakan. Jika digambarkan dalam sebuah chart, bagian “biasa-biasa/avarage” pasti lebih besar. Kemudian aku menjadi penasaran, dan akhirnya aku bertanya kepada seorang laki-laki yang cukup mewakili kaum Adam. Aku bertanya padanya, begini:

“Kalau kamu tidak kenal aku, dan melihat aku di sebuah mall, apakah kamu akan menolehkan kepala dan menganggap aku menarik?” tanyaku. And guess what, apa jawabannya:”Enggak…”. Aku kekeh untuk meyakinkan diriku. “Menurutmu, aku menarik tidak?” dan dia menjawab:”Biasa..” . Aku agak sedikit terkejut ketika mendengarnya…karena laki-laki yang telah mengisi hatiku satu tahun terakhir itu ternyata tidak menganggapku menarik sama sekali.

Well, kemudian dia penasaran kenapa aku bertanya sperti itu. Akhirnya aku mengungkapkan apa yang sahabatku keluhkan, dan setelah mendengar dari jawabannya, aku setuju dengan sahabatku. Menjadi sosok yang biasa saja itu mudah pasti mudah dilupakan. Jika aku tidak bisa menjadi cantik, lebih baik jelek sekalian seperti Tukul. Pastinya akab membuat orang menoleh pada kita, dan pastinya membuat kita dikenali dan orang2 menjadi aware.

Mendengar penuturanku, dia terkekeh dan tertawa. Menurutku, aku konyol dan stupid. Menurutnya yang penting adalah kepribadian dan attitude orang tersebut. Apakah dia baik, jujur, mandiri, cerdas, rajin dll. Dia kemudian dia mulai menasehatiku tentang inner beauty. Okelah, dia berpikir begitu.

Tapi aku masih memikirkan yang dikatakan sahabatku. Secara laki-laki itu adalah mahluk visual, mereka lebih mempercayai apa yang mereka lihat dulu. Who will talk about inner beauty ini first meet, right? Terus terang, setiap laki-laki pasti menginginkan melihat perempuan cantik dibanding melihat sosok biasa saja. Atau mungkin mereka lebih ingin melihat sosok jelek, setidaknya menimbulkan keiingintahuan. Terus, bagaimana dengan kita-kita yang hanya menjadi sosok yang biasa-biasa saja. Jika tidak ada satupun yang menarik dilihat, bagaimana kami bisa memberitahu kalau kami memiliki special inside? Do the guys have x ray? Not really…